Happen-to
Dan
Happen-in
Cemburu, atau yang sering kita kenal dengan
istilah jeles (jealous), adalah sikap emosi kita terhadap orang yang kita
anggap sebagai rival atau ancaman. Cemburu juga merupakan keadaan takut atau was-was
atas hilangnya seseorang yang kita anggap penting. Reaksinya bisa aversif (tak
mau didekati) atau protektif (menjadi seperti polisi).
Cemburu bisa terjadi pada urusan cinta asmara
remaja, hubungan suami-istri, atau keinginan yang memiliki nilai tertentu,
seperti jabatan atau penghasilan. Ketika kita cemburu, luapan emosi yang muncul
antara lain adalah:
§
Takut
kehilangan
§
Was-was
terhadap munculnya penghianatan
§
Merasa
kurang berguna atau sedih
§
Hidup
terasa seperti tidak jelas dan merasa sendiri
§
Tidak
percaya
§
Jengkel,
marah atau gregetan
Dalam prakteknya, kecemburuan itu sedikitnya bisa
memainkan dua fungsi. Fungsi pertama bisa dibaca sebagai tanda adanya rasa
cinta. Laki-laki atau perempuan yang malu mengatakan cintanya secara langsung,
terkadang menggunakan sikap atau pernyataan cemburu sebagai utusan.
Sedangkan fungsi yang kedua, kecemburuan bisa
dirasakan sebagai perusak cinta. Kecemburuan seperti inilah yang diebut cemburu
buta atau cemburu yang oleh para ahli disebut pathological jealousy
(cemburu tidak sehat). Orang yang
menjadi sasaran cemburu seperti ini, biasanya malah ingin mengganggalkan
harapan si pencemburu, misalnya malah ingin jauh, risih, atau jengkel.
Beberapa tanda yang bisa kita rasakan adanya
kecemburuan yang tidak sehat itu antara lain adalah: ketika sebab-sebabnya tidak faktual atau
tidak ada petunjuk untuk cemburu, dirundung ketakutan dan kegelisahan yang
lama, intensitas kecermburuannya sudah menganggu aktivitas lain karena pikiran
kita terancam oleh “jangan-jangan”, memunculkan perasaan putus asa atau minder.
Pada cemburu yang sehat, masalahnya secara umum
bersumber dari orang lain yang kita anggap kurang menaati kode etik, kurang membaca
rasa, atau kurang mengindahkan hubungan. Tetapi, pada cemburu yang sudah tidak
sehat, kemungkinan besar masalahnya ada di dalam diri kita. “It’s not about
what happen to you, but about what is happening in you”
Rasa
Takut
Apa yang menyebabkan seseorang cemburu secara
pathologis? Dilihat dari sumber motifnya, banyak kajian yang berhasil
mengungkap bahwa sebab penentunya (determinant) adalah rasa takut dan resah (feeling
of fear and feeling of inadequacy). Rasa takut yang sudah menjadi motif
hidup berbeda dengan rasa takut yang tidak / belum menjadi motif.
Bila kita takut
ke luar rumah karena petir dan angin sedang mengamuk, maka takut seperti
ini tidak menjadi motif. Kita takut karena ada sesuatu yang pantas untuk
ditakuti. Takut seperti ini sehat dan kita butukan supaya tidak terlalu nekat, konyol
atau sembrono. Bayangkan jika kita tak takut bahaya atau kerugian, apa
akibatnya?
Takut yang
sudah menjadi motif hidup terkait dengan kecemasan, kecurigaan, dan rasa
terancam oleh “jangan-jangan” yang tak terkendalikan oleh kita
(obsesif-kompulsif) sehingga mengganggu “kenormalan” kita, termasuk yang
terkait dengan hubungan kita dengan pasangan atau dengan yang lain.
Sumbernya yang paling fundamental adalah kita
merasa tidak punya pegangan, baik itu nilai-nilai, pemikiran, keyakinan,
penilaian atau skill tertentu yang membuat kita punya alasan kuat bahwa kita
“pede” atau mampu menguasai keadaan, terutama keadaan internal di dalam diri
kita.
Sebagai reaksi atas perasaan itu, kita memunculkan
mekanisme untuk menciptakan rasa aman. Salah satu mekanisme yang kita pilih
adalah cemburu secara tidak sehat atau menolak mengambil inisiatif yang sehat
untuk menyelesaikan problem, misalnya mengajak diskusi atau sharing
dengan pasangan atau calon. Kita uring-uringan sendiri, was-was sendiri, beku
sendiri.
Jika sudah menjadi motif, sumber itu tidak muncul
secara tiba-tiba. Secara umum, ada rentetan panjang yang menjadi latar
belakangnya. Mungkin dari pola pengasuhan waktu kecil yang terlalu memberi
batasan atau kekhawatiran (rigid parenting) sehingga kesempatan kita
untuk menjajal berbagai pengalaman dan ketrampilan sangat minim (mental
construction).
Atau bisa juga muncul dari interpretasi kita atas
kejadian masa lalu yang traumatik, baik yang menimpa kita langsung atau tidak
langsung, misalnya menimpa sang kakak, adik, orangtua atau keluarga. Trauma
yang gagal kita netralisir, dapat membuat kita terkuasai sehingga obsesif-kompulsif,
alias tersiksa oleh rasa dan terbelenggu oleh cemburu.
Keresahan
Resah
pun demikian. Ada keresahan yang memang masih pantas untuk diresahkan atau yang
biasa disebut duka, sedih atau kecewa. Misalnya kita kehilangan pekerjaan,
kehilangan orang tercinta, kegagalan mengikuti tes PNS padahal sudah membayar
sana-sini. Sebagai reaksi sesaat, kesedihan dan kedukaan itu normal, alias
manusiawi.
Tapi,
ada resah yang memang sudah menjadi motif atau sudah menjadi virus yang menyerang sistem di dalam jiwa kita. Resah
seperti ini muncul dari kebingungan yang tak terselesaikan (depresi) sehingga memunculkan
keputusasaan dan patah harapan yang merupakan konsekuensi logis dari melemahnya
kreativitas dalam menghadapi masalah.
Seperti
apa yang pernah ditulis Abraham Maslow, jika alat yang engkau miliki hanya
palu, maka engkau akan menganggap semua benda bagai paku. Karena kita melihat
persoalan hanya satu perspektif, maka cara yang akan kita tempuh untuk
menghadapinya juga satu. Biasanya, jika kreativitas kita rendah atau dalam
keadaan depresi, kita akan cenderung memilih cara yang tak perlu berpikir panjang,
seperti cemburu secara tidak sehat.
Laporan
hasil studi APA (American Psychological Association: 2010) mengungkap bahwa
kerentanan seseorang terhadap kecemburuan itu terkait dengan self-worth (pede,
bahagia, optimisme, dst). Artinya, semakin rendah sef-worth seseorang,
akan semakin rentan dia untuk cemburu. Kecemburuan itu bisa agresif, seperti
marah dengan penyerangan. Atau juga bisa pasif, seperti ngambek dan menarik
diri di kamar.
Darimana
Mulai Bekerja?
Semua
orang berhak untuk cemburu karena memang ada porsi yang dibutuhkan untuk
menandai hubungan kita dengan orang tertentu yang menurut kita penting, seperti
pasangan atau pacar. Hal lain lagi yang perlu kita sadari juga bahwa semua
orang pada dasarnya memiliki kerentanan untuk cemburu secara patologis, seperti
juga kita rentan terhadap penyakit.
Alasannya
adalah, siapa yang tak punya potensi ketakutan dan keresahan? Hanya memang
ketika porsinya sudah kebabalsan (akut) dan dampaknya sudah merugikan, maka
tindakan kuratifnya (pengobatan) harus segera kita lakukan. Tindakan kuratif
ini perlu ada yang didasarkan pada outcome (hasil) yang nyata di depan
mata dan ada yang perlu didasarkan pada outcome yang tidak nyata.
Bentuk
tindakan yang outcome-nya nyata itu antara lain misalnya saja:
§
Melakukan
aktivitas yang hasilnya dapat membuat kita feeling good, seperti
merapikan perabot rumah, persiapan kerja atau sekolah, care terhadap
orang lain, dll
§
Menjalankan
agenda pengembangan-diri sesuai keadaan dan kebutuhan, misalnya menambah skill,
ketrampilan tertentu, atau kebisaan tertentu sampai membuat kita meyakini punya
pegangan
§
Menempuh
berbagai cara dengan motivasi yang tinggi untuk mewujudkan agenda
pengembangan-diri itu.
§
Berdiskusi
dengan pasangan mengenai hal-hal yang perlu kita capai agar pikiran tidak beku
§
Bergaul
atau berkumpul dengan orang-orang yang membuat pikiran kita terus dinamis
Intinya,
tindakan yang nyata itu adalah berbagai tindakan yang hasilnya nantii dapat
mengurangi ketakutan yang ada di dalam diri kita karena merasa kurang (feeling
of lack) atau merasa tidak punya pegangan (feeling of empty). Atau
juga tindakan yang melatih pikiran kita untuk kreatif dalam menghadapi masalah
supaya tidak gampang resah (feeling of contented).
Supaya
tindakan itu memiliki pondasi yang kuat, maka perlu ada aksi-aksi batin
(spiritualitas) untuk menggali vitalitas hidup. Banyak orang yang sudah tahu
dan sangat ingin melakukan tindakan kuratif mengatasi masalahnya. Tetapi
prakteknya, keinginan dan pengatahuan itu kurang berguna karena dikalahkan oleh
kemalasan dan kesulitan.
Ini
pun dapat terjadi pada kita jika pondasi spiritualnya (keimanan) tidak ada atau
tidak kuat. Untuk membangun pondasi itu, hal-hal yang penting untuk kita
lakukan antara lain:
§
Temukan
pemikiran yang membuat Anda lebih “pede”, lebih kuat atau lebih bahagia dalam
menghadapi hidup, dari bacaan, ajaran atau orang lain
§
Temukan
keyakinan yang membuat Anda lebih tegar, dari orang lain, bacaan, atau ajaran
§
Hentikan
atau alihkan semua pemikiran yang membuat Anda makin merasa tidak pede, merasa
ringkih atau hancur
§
Bangun
kedekatan dengan Tuhan melalui jalan keimanan
Iman
adalah sebuah kesimpulan batin yang membimbing kita untuk meyakini (hati, lisan
dan tindakan) adanya Tuhan atau kekuatan yang di luar lingkaran kita dan
orang-orang yang kita cemburui itu. Kesimpulan itu idealnya dibangun dari
pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman, supaya dapat mengurangi rasa takut
dan rasa gelisah (laa khoufun alaihim walaa hum yahzanuun).
Misalnya,
kita tersiksa oleh kecemburuan terhadap seseorang yang keberadaannya di luar
kontrol kita, katakanlah bekerja di luar negeri atau di luar kota. Apa yang
akan kita jadikan pegangan? Akal? Tehnologi? Atau perasaan? Itu semua
dibutuhkan, tetapi tak sanggup mengalahkan ketakutan dan kegelisahan sehingga
perlu pegangan lain yang sifatnya spiritual.
Sama
juga misalnya kita dikhianati orang secara nyata. Jika hanya berpedoman pada
akal, mungkin kita akan terlibat dalam saling menuntut, saling membalas, saling
menghukum. Terkadang ini diperlukan asalkan proporsional. Kalau kebablasan, ini
akan merusak kita. Begitu juga dengan perasaan. Jika kita jadikan pedoman
tunggal, maka akan melibatkan kita pada merasa hancur atau kecewa.
Supaya
tidak sampai kebablasan, maka larinya harus ke pegangan hidup yang sifatnya
spiritual atau nilai-nilai abstrak yang membuat hidup kita tetap punya
ketahanan (keimanan). Oleh Napolen Hill, iman itu disebutnya dengan istilah The
Infinitive Intelligence atau kecerdasan yang sanggup membuat kita melihat kenyataan
di balik kenyataan.
Intinya,
untuk mengatasi kecemburuan yang patologis itu perlu melibatkan empat kapasitas
inti dalam diri, yaitu tindakan nyata
(pengembangan-diri), nalar (kalkulasi), perasaan (membedakan sensitivitas), dan
keimanan (keyakinan yang membebaskan kita dari rasa takut dan gelisah).
Jangan
Mau Dilemahkan Dan Dimanfaatkan
Dalam
keadaan kreativitas lagi turun atau diliputi ketakutan, mungkin kita butuh
orang lain untuk membantu. Mungkin guru, psikolog, ustadz, spiritualis,
trainer, atau orang tertentu yang menurut kita berwibawa dan pas untuk
dijadikan tempat curhat.
Sejauh
kita melihat apa yang dilakukannya itu adalah memacu kita menggunakan 4
kapasitas di atas dan relatif bebas saran-sarannya dari self-interest (hawa
nafsu), itu semua sangat OK. Kita dibantu menjadi orang yang lebih kuat
menghadapi hidup. Berterima kasihlah. Soal itu bayar atau tidak, ini lain
urusan.
Tapi,
jika hanya membuat kita makin lama makin tergantung (lemah), makin takut atau
makin jauh dari kenyataan, lebih-lebih cara yang digunakannya aneh-aneh, di
sini biasanya rawan pelanggaran atau penyimpangan. Kita telah menyediakan diri
untuk dilemahkan atau dimanfaatkan.
Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar