Every
adversity, every unpleasant circumstance, every failure, and every
physical pain carries with it the seed of an equivalent benefit" (Ralp Waldo Emerson).
Kalimat
bijak diatas mungkin sangat mudah dimengerti. Tetapi ketika mengalami
kegagalan maka hanya sedikit individu yang bisa mengaplikasikan makna
yang terkandung dalam kalimat tersebut. Sama halnya dengan kata bijak
yang lain: "Kegagalan adalah sukses yang tertunda". Benarkah?
Gagal & Sukses
Jika
kita mengacu pada kisah kehidupan orang sukes yang kita kenal dan
diperkenalkan oleh sejarah maka cenderung diperoleh kesimpulan yang sama
bahwa kegagalan adalah peristiwa potensial yang bersifat netral, "hidden potential events"
yang tidak memiliki makna tertentu kecuali setelah diberi pemaknaan
oleh kita: nasib, takdir, siksaan, cobaan, tantangan atau pelajaran.
Apapun makna yang dibubuhkan pada akhirnya akan kembali pada formula
bahwa hidup ini lebih pada memutuskan pilihan dan merasakan konsekuensi.
Berdasarkan
hidden potential events tersebut maka bisa dimengerti jika Abraham
Lincoln baru mencapai cita-cita politiknya pada usia 52 tahun; Soichiro
Honda yang sampai cacat tangannya gara-gara mendesain piston; atau
Werner Von Braun penemu roket yang menyebut angka kegagalan 65.121 kali. AMROP
International, perusahaan pencari eksekutif senior yang berkantor di 78
negara di dunia termasuk Indonesia, pernah mengeluarkan catatan tentang
fluktuasi emosi pencari kerja dari sejak di-PHK sampai menemukan
pekerjaan baru. Dihitung, fluktuasi naik-turun itu terjadi sebanyak 26 kali dengan asumsi waktu minimal enam bulan.
Pendek kata, gagal dan sukses adalah ritme hidup yang tidak terpisah dari kehidupan semua orang. Lalu apa pembeda antara perjuangan
tiada akhir (unstoppable) yang menghasilkan para "pengubah" dunia
dengan perjuangan yang dikalahkan rasa putus asa karena kegagalan yang
barangkali terjadi hanya sepersekian persen?
Menyikapi Kegagalan
Penyikapan individu pada momen di mana kegagalan terjadi dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Membiarkan
Model
penyikapan ini adalah menerima kegagalan dengan kualitas yang rendah
berupa membiarkan saja semua terjadi. Sikap ini dihasilkan dari
mentalitas yang rendah untuk mendobrak keadaan karena tidak memiliki
kemauan yang dibangkitkan di dalam untuk menemukan penyebab yang
rasional. Bisa jadi kemauan itu erat kaitannya dengan level pengetahuan
dan harapan yang dimiliki orang. Karena jawaban rasional tidak
ditemukan, maka cara tunggal yang digunakan untuk memaafkan sikap
demikian adalah menempatkan kegagalan dalam wilayah hidup yang tak
tersentuh oleh upaya dirinya dengan meyakini titah takdir atau nasib.
2. Menolak
Model
penyikapan kedua adalah menolak kegagalan.Penolakan itu dilakukan dalam
bentuk menyalahkan orang lain, keadaan atau Tuhan sekalipun, karena
dirasakan tidak adil memberi perlakuan. Biasanya penolakan itu terjadi
akibat keseimbangan hidup yang kurang mendapat perhatian di tingkat
intelektual, emosional atau spritual. Meskipun kegagalan dapat
dilumpuhkan, tetapi akibat penolakan yang dilakukan, keseimbangan antara
usaha dan hasil tidak sebanding. Jika diambil perumpaan maka model hal
ini adalah ibarat orang membunuh nyamuk dengan sepucuk pistol.
3. Menerima
Model
penyikapan ketiga adalah yang paling ideal yaitu menerima kegagalan
dengan kualitas yang tinggi. Di sini kegagalan adalah materi
pembelajaran-diri atau kurikulum pendidikan situasi. Daam hal ini tentu
saja bukan berarti bahwa semakin banyak kegagalan semakin bagus tetapi
yang ingin difokuskan adalah bagaimana individu menempatkan kegagalan
sebagai proses yang menyertai realisasi gagasan. Bisa jadi fakta fisik
menunjukkan peristiwa yang belum / tidak berjalan seperti yang
diinginkan oleh perencanaan akan tetapi orang seperti Edison atau orang
lain yang bermazhab-hidup sama merebut tanggung jawab untuk mengubah
hidup dari cengkraman fakta fisik temporer itu. Seperti dikatakan Dr. Denis Waitley: "There are two primary choices in life: to accept conditions as they exist, or accept the responsibility for changing them."
Munculnya penyikapan yang beragam di atas tidak terjadi secara take it for granted begitu saja tetapi dibentuk oleh sekian faktor antara lain:
a. Lingkungan
Termasuk
dalam kategori lingkungan adalah keluarga, masyarakat dan bangsa di
mana kita menjadi salah satu komponen yang ikut mempengaruhi dan
dipengaruhi. Kualitas model penyikapan lingkungan terhadap persoalan
hidup secara umum tergantung tingkat pendidikan, nilai kebudayaan, atau
peradaban yang membentuknya. Orang yang dibesarkan oleh lingkungan berbeda bagaimana pun punya format pandangan berbeda tentang persoalan hidup.
b. Sistem Struktural
Selain lingkungan, faktor sistem struktural yang mengatur organisasi, lembaga, atau perkumpulan sosial tertentu juga ikut andil terutama membentuk
karakter mentalitas individu dalam menghadapi hidup dan kegagalan pada
khususnya. Mentalitas tinggi akan membentuk kepribadian di mana
seseorang menjadi "the cause" dari peristiwa hidup sementara mentalitas rendah akan membentuk kepribadian sebagai "the effect".
c. Personal
Meskipun
tidak bisa dinafikan pengaruh yang dimiliki oleh faktor lingkungan dan
sistem struktural, tetapi pengaruh tersebut hanya bersifat menawarkan
dan hanya faktor personal-lah yang menentukan keputusan. Sudah jelas
kita rasakan, tidak semua pengaruh itu murni negatif atau positif
sehingga peranan terbesar terdapat pada kemampuan kita untuk menghidupkan tombol "seleksi" dan "pengecualian" dalam memilih model penyikapan untuk mendukung di antara yang bekerja untuk merusak atau mandul.
Memaknai Kegagalan
Tidaklah
benar jika dikatakan bahwa ketidakmampuan seseorang mengambil manfaat
dari hidden potential yang terjadi dalam suatu peristiwa yang
menyebabkan kegagalan semata-mata karena faktor negatif yang diwariskan
oleh lingkungan atau sistem struktural yang ada dalam masyarakat. Justru
yang dibutuhkan adalah bagaimana kita
menciptakan model penyikapan ketiga yang dihasilkan dari pemahaman
tentang cara kerja hidup dan dunia. Dalam hal memaknai kegagalan,
kesengsaraan, atau peristiwa menyakitkan lainnya, maka langkah-langkah
yang kemungkinan besar dapat membantu adalah:
1. Menciptakan Kondisi
Makna
tidak datang sendiri tetapi sebagai hasil yang diciptakan oleh usaha
untuk menemukannya, dalam arti menciptakan kondisi dengan kesadaran
bahwa kita sedang menjalani pendidikan situasi untuk mematangkan diri.
Kualitas conditioning akan sebanding dengan benefit yang tersimpan di
baliknya. Sebelum Ir. Ciputra bercerita riwayat hidupnya dari kecil,
rasanya semua orang membayangkan betapa enaknya menjadi sosok yang
menyandang sebutan maestro property Indonesia atau Asia Pasifik. Tetapi
dengan pengakuan bahwa dirinya adalah manusia yang tidak tahu di mana
seorang ayah dimakamkan oleh penjajah kala itu yang akhirnya membuat
Ciputra kecil berusia 12 tahun harus hidup tanpa bimbingan ayah, barulah
kita sadar bahwa balasan yang diterimanya sekarang ini adalah
balasan setimpal. Bocah kecil bernama Ciputra harus jalan kaki
sepanjang 7 km karena tujuannya menyelesaikan sekolah dasar. Kata
kuncinya bukan pada kematian seorang ayah di sel penjara penjajah akan
tetapi kesadaran bahwa dirinya harus merumuskan tujuan, visi, dan misi
hidup seorang diri. Andaikan situasi serupa dihadapi oleh kita sendiri,
belum tentu kita berani buru-buru membayangkan alangkah enaknya menjadi
sosok Ir. Ciputra.
2. Menciptakan Perbedaan
Model
penyikapan ketiga yang membedakan model pertama dan kedua pun juga
tidak disuguhkan tetapi diciptakan oleh kualitas pembeda dalam mengembangkan sembilan sumber daya inti di dalam diri yaitu:
-
Sumber daya material: fisik, raga
-
Sumber daya intelektual: nalar
-
Sumber daya emosional: sikap perasaan
-
Sumber daya spiritual: hati, rohani
-
Sumber daya mental: daya dobrak
-
Sumber daya visual: imajinasi
-
Sumber daya verbal: komunikasi
-
Sumber daya social: relationship
-
Sumber daya dukungan eksternal: lingkungan dan sistem struktural
Banyak
hal-hal kecil yang dapat membantu memperbaiki model penyikapan tetapi
luput untuk dijalankan karena sifat manusia yang ingin "jump to conclusion"
mendapatkan hasil yang besar. Di antaranya adalah kesadaran
mendengarkan musik, olah raga, membaca, doa, meditasi, relaksasi
senyuman, tepuk tangan atas keberhasilan orang lain, dan lain-lain.
3. Menggunakan Kemampuan Baru
Hasil akhir dari pembelajaran diri dengan menjalani pendidikan situasi adalah memiliki kemampuan baru, baik kemampuan hardware skill dan software skill
atau makna lain yang anda temukan. Tetapi balasan setimpal dari situasi
yang kita rasakan menyakitkan adalah menggunakan kemampuan tersebut
untuk menambah nilai plus, competitive advantage, diri kita bagi orang
lain. Salah seorang yang pernah berhasil menggunakan kemampuan baru itu
adalah prof. Hamka. Mungkin - ini hanya pengandaian - kalau tidak
dijebloskan ke penjara, buku tafsir yang menjadi karya fenomenal Hamka
tidak pernah rampung. Kalau tidak pernah bangkrut yang membuatnya hidup menggelandang sampai usia 40 tahun, mungkin karya berseri berjudul "The Chicken Soup for Soul" yang saat ini banyak terpampang di sejumlah toko buku di dunia tidak akan dihasilkan oleh Mark Victor Hensen.
Tentu bukan penjara atau hidup menggelandang yang
membuat kedua sosok di atas merasakan balasan setimpal, tetapi
pembelajaran diri dalam memaknai setiap peristiwa hidup yang terjadi
justru menjadi kunci untuk mengembangkan sumber daya di dalam diri
masing-masing dan hasilnya digunakan demi kesejahteraan orang banyak.
Akhir
kata, sebaik-baiknya seseorang maka akan sangat baik jika ia dapat
belajar dan mengambil hikmah dari setiap peristiwa hidup guna memberikan
bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Selamat menemukan makna
dari peristiwa hidup yang anda alami guna menciptakan competitive
advantage bagi diri sendiri dan bermanfaat bagi kesejahteraan orang
banyak.
Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar