Sabtu, 30 Juni 2012

Internet dan Explorasi Diri

Apakah internet dapat digunakan sebagai alat untuk eksplorasi diri? Pertanyaan tersebut bukanlah tanpa alasan mengingat bahwa banyak situs yang menampilkan berbagai test EQ maupun IQ. Selain itu teknologi dunia maya ini memberikan banyak kesempatan kepada individu untuk mengekspresikan diri secara unik. Namun demikian para Psikolog berpendapat, kalau seseorang gagal mengintegrasikan antara diri sejati dengan diri yang diekspresikan secara berbeda di internet, maka hal ini akan sangat berbahaya bagi pertumbuhan pribadi orang tersebut.
Mengenai dampak internet sebagai alat explorasi diri, para Psikolog memandang hal tersebut tergantung dari pribadi si penggunanya. Tentu internet akan bermanfaat jika mampu meningkatkan kehidupan seseorang, dan sebaliknya menjadi penyakit jika membuat kacau kehidupan orang tersebut. Pengaruh buruk akan terjadi jika internet digunakan sebagai sarana untuk mengisolasi diri. Banyak orang tidak sadar bahwa lama-kelamaan ia menutup diri terhadap komunikasi sosial entah karena keasikan ngebrowse atau karena internet dipakai sebagai pelarian dari masalah-masalah yang berhubungan dengan kepribadiannya. Hal itu dapat terjadi karena ada individu yang menampilkan kepribadian yang berbeda pada saat online dengan offline. Motivasi dibalik itu tentu berbeda antara satu orang dengan yang lain. Permasalahan akan rumit jika alasannya adalah karena individu tersebut tidak puas/suka terhadap dirinya sendiri (mungkin karena rasa minder, malu, atau merasa tidak pantas), lantas menciptakan dan menampilkan kepribadian yang lain sekali dari dirinya yang asli. Seringkali ia lebih suka pada kepribadian hasil rekayasa yang baru karena tampak ideal baginya. Padahal, menurut para Psikolog, hal ini tidak benar dan tidak sehat. Mengapa demikian?
Michelle Weil, seorang Psikolog dan pengarang buku terkenal, memberikan contoh konkrit tentang seorang gadis yang dijauhi oleh teman-temannya lalu kemudian menghabiskan waktu untuk mojok berchatting ria dengan menampilkan karakter yang sangat kontradiktif dengan karakter aslinya. Akibatnya, lama kelamaan ia semakin jauh dengan kenyataaan sosial yang ada, bahkan tidak bisa menerima diri apa adanya. Menurut pakar psikoanalisa terkenal seperti Erich Fromm, kondisi demikian dinamakan neurosis. Kondisi neurosis yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan jiwa yang serius. Michelle lebih lanjut menambahkan, bahaya latennya adalah terbentuknya kepribadian online yang berbeda dengan yang asli.
Tentu saja ada pengaruh positif dari penggunaan (bukan kecanduan) internet terhadap kepribadian seseorang. Reid Steere, seorang Sosiolog dari Los Angeles mengatakan, jika seseorang menggunakan internet sebagai media eksplorasi diri dengan kesadaran penuh, ia akan mengalami pertumbuhan sebagai hasil dari refleksi dirinya secara utuh melalui internet.

Website :  http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012

Bullying

Pengertian Bullying
Konon, istilah bullying ini terkait dengan bull, sapi jantan yang suka mendengus (untuk mengancam, menakuti-nakuti, atau memberi tanda). Kamus Marriem Webster menjelaskan bahwa bully itu adalah to treat abusively (memperlakukan secara tidak  sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi dengan paksaan dan kekuatan).

Dalam dunia anak-anak, Dan Olweus, seorang pakar yang berkonsentrasi menangani praktek bullying, menyimpulkan, bullying pada anak-anak itu mencakup penjelasan antara lain: a) upaya melancarkan permusuhan atau penyerangan terhadap korban, b) korban adalah pihak yang dianggap lemah atau tak berdaya oleh pelaku, dan c) menimbulkan efek buruk bagi fisik atau jiwanya (Preventing Bullying, Kidscape, UK, 2001).

Bu Ria (36), sebut saja begitu, akhirnya lebih memilih memindahkan anaknya ke sekolah lain. Ini dilakukan karena kasihan selalu mendengar keluhan si putri yang kerap dijadikan objek pemalakan oleh sekelompok anak di sekolah. Misalnya, makanan yang dibawanya dari rumah suka diambil, peralatan sekolah suka diganti sama yang jelek, atau bahkan uang jajannya pun tak luput dari praktek pemerasan. Menurut si putri, dirinya diam saja sebab ada anak lain yang menolak kemauan si perkasa diancam dengan kata-kata yang menakutkan. Misalnya, tidak ditemani, selalu dicemooh sebagai orang pelit, dan semisalnya.

Apa yang dialami Bu Ria itu sebetulnya hanyalah gambaran kecil dari praktek bullying yang sangat variatif. Menurut pengamatan Dan Olweus, dkk, bullying di kalangan anak-anak itu memiliki bentuk yang beragam, antara lain:
  • Penyerangan fisik: memukul, menendang, mendorong, dan seterusnya
  • Penyerangan verbal: mengejek, menyebarkan isu buruk, atau menjuluki sebutan yang jelek
  • Penyerangan emosi: menyembunyikan peralatan sekolah, memberikan ancaman, menghina
  • Penyerangan rasial: mengucilkan anak karena ras, agama, kelompok, dst
  • Penyerangan seksual: meraba, mencium, dan seterusnya

Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Barbara Coloroso ((The Bully, The Bullied, dan The Bystander: 2004), disebutnya dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada pihak yang  menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman).  

Atas kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Jika kebetulan anak kita masuk di sekolah yang pengawasan gurunya lebih dari cukup, mungkin akan cepat terdeteksi. Tapi bila tidak, maka kitalah yang sangat diharapkan proaktif.  


Siapa Korban Dan Siapa Pelaku?
Pak Wardiman setengah menyesali keputusannya "menyogok" pihak sekolah agar menerima si anak yang usianya kala itu belum cukup enam tahun. Dipikirnya, dengan masuk SD lebih dini itu bagus. Dia khawatir anaknya nanti menjadi orang bodoh karena kerjaannya main terus di rumah. Seiring dengan berjalannya waktu, terasa ada yang ganjil dari perkembangan si anak. Di sekolah yang pengawasan gurunya sangat terbatas, si anak kerap dijadikan korban yang harus mengalah oleh teman yang badanya lebih gede dan usianya lebih tua.

Apa yang dialami Pak Wardiman itu sebetulnya hanya sebuah kasus. Maksudnya, tidak semua anak yang usianya lebih muda itu akan pasti menjadi korban bullying. Faktor usia bisa menjadi sebab langsung dan bisa pula menjadi sebab tidak langsung atau bisa saja tidak terkait sama sekali. Usia tidak selalu menjadi sebab. Mungkin lingkungan sekolah, mungkin pengaruh pola asuh, atau mungkin karena yang lain.  

Dari penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri  "ter", misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya.  Di bukunya Barbara Colorosa (The bully, The bullied, dan The bystander: 2004), ciri-ciri yang terkait dengan korban itu antara lain:
  • Anak baru di lingkungan itu.
  • Anak termuda atau paling kecil di sekolah.
  • Anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut
  • Anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan 
  • Anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain.
  • Anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah
  • Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain
  • Anak yang paling miskin atau paling kaya.
  • Anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah 
  • Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah 
  • Anak yang agamanya dipandang rendah
  • Anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain 
  • Anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma.
  • Anak yang siap mendemontrasikan emosinya setiap waktu.
  • Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
  • Anak yang memakai kawat gigi atau kacamata.
  • Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
  • Anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental
  • Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk)

Sedangkan untuk para pelaku, mereka umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  • Suka mendominasi anak lain.
  • Suka memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
  • Sulit melihat situasi dari titik pandang anak lain.
  • Hanya peduli pada keinginan dan kesenangannya sendiri, dan tak mau peduli dengan  perasaan anak lain.
  • Cenderung melukai anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
  • Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai sasaran.
  • Tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya.
  • Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan atau masa bodoh terhadap akibat dari perbuatannya.
  • Haus perhatian


Bagaimana Membantu Korban?
Kita semua diajari untuk menolong dua pihak, baik yang tertindas atau yang menindas. Menolong yang tertindas bisa dilakukan dengan membebaskan mereka dari ketertindasan. Ini penting sebab jika si korban tidak segera ditolong, akibat yang paling fatal bisa meninggal dunia. 

Seorang wali murid di salah satu SD di Jakarta Timur akhirnya hanya bisa berbagai pengalaman agar peristiwa buruk yang pernah menimpanya tak lagi terjadi. Anak lelakinya meninggal dunia. Menurut diagnosa dokter, di dada si anak ada memar bekas pukulan benda keras. Mungkin saja benda keras itu tidak langsung mengakibatkan hilangnya nyawa. Karena si anak takut bilang dan kurang ada perhatian dini, akhirnya terjadilan kejadian yang tidak diharapkan itu.

Jangankan anak-anak yang masih di SD, anak remaja saja belum tentu bisa berterus terang kepada orangtuanya soal ini. Kalau merujuk pada kasus-kasus di sekolah tinggi kedinasan milik pemerintah, para korban penindasan di sana bukan lagi anak-anak, melainkan mahasiswa. Mereka bungkam dengan berbagai alasan.

Dari kajian para ahli, jika korban bullying itu dibiarkan atau tidak mendapatkan penanganan, mereka akan depresi, mengalami penurunan harga diri, menjadi pemalu, penakut, prestasinya jeblok, mengisolasi diri, atau ada yang mau mencoba bunuh diri karena tidak tahan (Stop Bullying, Kidscape: 2005). Lantas, bagaimana membantu si korban? Untuk membantu si korban, Coloroso menyarankan:
  • Yakinkan  bahwa kita akan berada di sisinya dalam mengatasi masalah ini.
  • Ajari si anak untuk menjadi orang baik namun juga tidak takut melawan kesombongan.  
  • Galilah inisiatif dari si anak tentang cara-cara yang bisa ditempuh. Ini untuk menumbuhkan kepercayaan diri si anak atau ajukan beberapa usulan.
  • Rancanglah pertemuan dengan pihak sekolah.
  • Jangan lupa membawa penjelasan yang faktual dan detail. Misalnya bukti fisik, harinya, prosesnya, nama anak-anaknya, tempat kejadiannya, dan lain-lain. Kalau bisa, cari juga dukungan dari wali murid lain yang anaknya kerap menjadi korban.
  • Usahakan dalam pertemuan itu muncul kesepakatan yang pasti akan dijalankan dan akan membuat anak aman dari penindasan. Maksudnya, jangan hanya puas mengadu dan puas diberi janji.
  • Akan lebih sempurna jika pihak sekolah mau memfasilitasi pertemuan dengan wali yang anaknya pelaku dan yang anaknya menjadi korban untuk ditemukan solusinya

Yang perlu kita hindari adalah praktek menyalahkan atau menyudutkan si anak. Misalnya mengatakan, kamu sih yang mancing, kamu sih yang nggak mau mengerti, dan seterusnya. Kesalahan ada pada pelaku, bukan pada korban. Hindari juga membuat rasionalisasi yang meremehkan, misalnya kita mengatakan, wah digituin aja sedih, jangan cengeng dong, dia kan hanya bercanda, dan seterusnya. Terus, jangan juga langsung meledak dan ngamuk. Ini malah membuat anak enggan bercerita. Galilah dari si anak sebanyak mungkin.


Bagaimana Membantu Pelaku?
Bagaimana cara membantu pelaku? Membantu pelaku adalah dengan mencegahnya. Pencegahan ini bisa diajarkan dengan cara-cara di bawah ini:
  • Beri disiplin. Jelaskan bahwa menindas itu perbuatan salah, ajari untuk bertanggungjawab atas kesalahannya, misalnya minta maaf, mengontrol proses agar tidak mengulangi lagi, dan meyakinkan dirinya bahwa dia bukan orang jahat. Dia hanya butuh belajar untuk menjadi orang yang lebih baik.
  • Ciptakan kesempatan untuk berbuat baik kepada keluarga atau teman-temannya di sekolah, misalnya mengundang hari ulang tahun, berbagi, dan seterusnya
  • Tumbuhkan empati, misalnya menjenguk atau menelpon yang sakit, membantu yang membutuhkan, mengutarakan kata-kata yang baik
  • Ajari keterampilan berteman dengan cara-cara yang asertif, sopan, dan tenang. Tunjukkan bahwa memaksa orang lain itu tidak baik.
  • Pantaulah acara televisi yang ditonton mereka, video game yang dimainkan, aktivitas-aktivitas komputer yang mereka lakukan, dan musik yang mereka dengarkan atau mainkan. Jika berbau kekerasan, ajarilah untuk mengganti secara bertahap
  • Libatkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih konstruktif, menghibur, dan menggairahkan.
  • Ajari anak Anda untuk beritikad baik kepada anak lain.
  • Hindari kekerasan dalam bentuk apapun ketika memperlakukan mereka. Kekerasan seringkali melahirkan kekerasan


Kesimpulan
Praktek bullying, entah itu pelaku atau korbannya bisa menimpa siapa saja. Anak-anak tentu belum sepenuhnya menyadari kefatalan yang ditimbulkannya. Karena itu, peranan orangtua dalam mencegah dan menolong sangat diharapkan. Dengan keterlibatan orangtua yang notebene lebih matang, mudah-mudahan bisa memutus mata rantai kekerasan di antara mereka. Semoga bermanfaat.

Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012

Komitmen Organisasi

Pengertian
Komitmen organisasi merupakan sifat hubungan antara individu dengan organisasi kerja, dimana individu mempunyai keyakinan diri terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi kerja, adanya kerelaan untuk menggunakan usahanya secara sungguh-sungguh demi kepentingan organisasi kerja serta mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari organisasi kerja. Dalam hal ini individu mengidentifikasikan dirinya pada suatu organisasi tertentu tempat individu bekerja dan berharap untuk menjadi anggota organisasi kerja guna turut merealisasikan tujuan-tujuan organisasi kerja.

Porter (Mowday, dkk, 1982:27) mendefinisikan komitment organisasi adalah sebagai kekuatan yang relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga hal, yaitu :
  • Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
  • Kesiapan dan kesedian untuk berusaha dengan sungguh-sungguh  atas nama organisasi.
  • Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan didalam organisasi (menjadi bagian dari organisasi).

Richard M. Steers, (1985 : 50) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang karyawan terhadap perusahaannya. Ia berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana karyawan sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan  tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.

Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas terhadap perusahaan, keterlibatan dalam pekerjaan, dan identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan. Maka pada intinya beberapa definisi komitmen organisasi dari beberapa ahli diatas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada individu karyawan dalam mengidentifikasi dirinya dengan nilai-nilai, aturan-aturan, dan tujuan organisasi.  

Disamping itu, komitmen organisasi mengandung pengertian sebagai sesuatu hal yang lebih dari sekedar kesetiaan yang pasif terhadap perusahaan, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan karyawan dengan organisasi atau perusahaan secara aktif. Karena karyawan yang menunjukkan komitmen organisasinya, ada keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggung jawab untuk menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi atau perusahaan tersebut.

Jenis Komitmen
Jenis-jenis komitmen organisasi:
1.  Jenis komitmen organisasi dari Allen dan Meyer (1994)
Allen dan Meyer (dalam Dunham, dkk 1994: 370 ) membedakan komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu : komponen efektif, normatif dan continuance.
  • Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan didalam suatu organisasi.
  • Komponen normatif merupakan perasaan-perasaan tentang kewajiban pekerjaan yang harus ia berikan kepada organisasi.
  • Komponen continuance berarti komponen berdasarkan persepsi karyawan tentang kerugian akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi.

Meyer dan Allen berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang berbeda. Karyawan dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Sementara itu karyawan dengan komponen continuance tinggi, tetap bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan organisasi. Karyawan yang memiliki komponen normatif yang tinggi, tetap menjadi anggota organisasi karena mereka harus melakukannya.

Setiap karyawan memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Karyawan yang memiliki komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku berbeda dengan karyawan yang berdasarkan continuance. Karyawan yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya, mereka yang terpaksa sebagai anggota akan menghindari kerugian finansial dan kerugian lain, mungkin hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki karyawan. Komponen normatif yang menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari organisasi.

2.   Jenis komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers
Komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers lebih dikenal sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi sebagai suatu sikap yang didefinisikan sebagai kekuatan relatif suatu identifikasi dan keterlibatan individu terhadap organisasi tertentu (Mowday, dkk. 1982 : 27)
Komitmen organisasi ini memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku.
Sikap mencakup :
  • Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi. Tampil melalui sikap menyetujui kebijaksanaan organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai perusahaan, rasa kebanggaan menjadi bagian dari organisasi.
  • Keterlibatan dengan peranan pekerjaan di organisasi tersebut, karyawan yang memiliki komitmen tinggi akan menerima hampir semua pekerjaan yang diberikan padanya.
  • Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya keterikatan emosional dan keterikatan antara perusahaan dengan karyawan. Karyawan dengan komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki terhadap perusahaan.

Sedangkan yang termasuk kehendak untuk bertingkah laku adalah:
  • Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampil melalui kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar perusahaan dapat maju. Karyawan dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan nasib perusahaan.
  • Keinginan tetap berada dalam organisasi. Pada karyawan yang memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari perusahaan dan ada keinginan untuk bergabung dengan perusahaan dalam waktu lama.
  • Jadi seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap perusahaan, terlibat sungguh-sungguh dalam pekerjaan dan ada loyalitas serta afeksi positif terhadap perusahaan. Selain itu tampil tingkah laku berusaha kearah tujuan perusahaan dan keinginan untuk tetap bergabung dengan perusahaan dalam jangka waktu lama.

Aspek-aspek Komitmen Organisasi
Aspek-aspek komitmen organisasi kerja
Menurut Steers (1985 : 53) komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu : identifikasi, keterlibatan dan loyalitas karyawan terhadap organisasi atau perusahaannya.
  • Aspek Pertama
Yaitu rasa identifikasi, yang mewujud dalam bentuk kepercayaan karyawan terhadap organisasi, dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup beberapa tujuan pribadi para karyawan ataupun dengan kata lain perusahaan memasukkan pula kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasinya. Sehingga akan membuahkan suasana saling mendukung diantara para karyawan dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa karyawan dengan rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena karyawan menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi kebutuhan pribadi mereka pula (Pareek, 1994 : 113).
  •   Aspek Kedua
Yaitu keterlibatan atau partisipasi karyawan dalam aktivitas-aktivitas keorganisasian juga penting untuk diperhatikan karena adanya keterlibatan karyawan menyebabkan mereka akan mau dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan karyawan adalah dengan memancing partisipasi mereka dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan, yang dapat menumbuhkan keyakinan pada karyawan bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan keputusan bersama. Disamping itu, karyawan merasakan diterima sebagai bagian utuh dari organisasi, dan konsekuensi lebih lanjut, mereka merasa wajib untuk melaksanakan bersama karena adanya rasa terikat dengan yang mereka ciptakan (Sutarto, 1989 :79). Oleh Steers (1985 : 53) dikatakan bahwa tingkat kehadiran mereka yang memiliki rasa keterlibatan tinggi umumnya tinggi pula. Mereka hanya absen jika mereka sakit hingga benar-benar tidak dapat masuk kerja. Jadi, tingkat kemangkiran yang disengaja pada individu tersebut lebih rendah dibandingkan dengan pekerja yang keterlibatannya lebih rendah.

Ahli lain, Beynon (dalam Marchington, 1986 : 61) mengatakan bahwa partisipasi akan meningkat apabila mereka menghadapi suatu situasi yang penting untuk mereka diskusikan bersama, dan salah satu situasi yang perlu didiskusikan bersama tersebut adalah kebutuhan serta kepentingan pribadi yang ingin dicapai oleh karyawan organisasi. Apabila kebutuhan tersebut dapat terpenuhi hingga karyawan memperoleh kepuasan kerja, maka karyawanpun akan menyadari pentingnya memiliki kesediaan untuk menyumbang usaha bagi kepentingan organisasi. Sebab hanya dengan pencapaian kepentingan organisasilah,  kepentingan merekapun akan lebih terpuaskan.
  • Aspek ketiga
Yaitu loyalitas karyawan terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, kalau perlu dengan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun (Wignyo-soebroto, 1987). Kesediaan karyawan untuk mempertahankan diri bekerja dalam perusahaan adalah hal yang penting dalam menunjang komitmen karyawan terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini dapat diupayakan bila karyawan merasakan adanya keamanan dan kepuasan di dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.

Mengapa Perlu Komitmen
Seorang karyawan yang semula kurang memiliki komitmen berorganisasi, namun setelah bekerja ternyata selain mendapat imbalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku ada hal-hal yang menarik dan memberi kepuasan. Hal itu akan memupuk berkembangnya komitmen berorganisasi. Apalagi jika banyak hal yang dapat memberikan kesejahteraan, jaminan keamanan, misalnya ada koperasi, ada fasiltas transportasi, ada fasilitas yang mendukung kegiatan kerja sehingga dapat bekerja dengan penuh semangat, lebih produktif dan efisien dalam menjalankan tugasnya. Namun juga sebaliknya jika iklim organisasi kerja dalam perusahaan tersebut kurang menunjang, misalnya fasilitas kurang, hubungan kerja kurang harmonis, jaminan sosial dan keamanan kurang, maka komitmen organisasi kerja menjadi makin luntur atau bahkan tempat bekerjanya dijelek-jelekkan sehingga dapat menimbulkan kerawanan sosial dalam organisasi kerja, hal itu dapat menimbulkan mogok kerja, demonstrasi, pengunduran diri dan sebagainya.

Bagaimana komitmen organisasi dengan karyawan kontrak, karena akhir-akhir ini banyak perusahaan yang menggunakan karyawan kontrak. Secara psikologis tentu perlu dicermati, karena komitmen organisasi, munculnya lebih psikologis dibanding kebutuhan sosio-ekonomik yang bersumber dari gaji atau upah. Orang mencari kerja awalnya agar memperolah status sebagai karyawan dan mendapatkan imbalan gaji atau upah. Namun setelah bekerja tuntutannya bukan hal itu saja, suasana kerjanya menyenangkan atau cocok apa tidak, sehingga ia merasa sejahtera apa tidak, merasa puas apa tidak hal itu semua akan mendorong munculnya komitmen dalam organisasi kerjanya. Pada karyawan kontrak, umumnya 6 bulan pertama orang baru menyesuaikan dengan tugas dan biasanya baru terlihat efisien dalam menjalankan tugasnya. Namun dalam bulan-bulan berikutnya ia sudah harus berfikir bahwa akhir tahun masa kontrak habis dan harus memperpanjang, itupun masih meragukan apakah dapat diperpanjang atau tidak; jika secara kebetulan dapat diperpanjang maka secara disadari atau tidak ketentraman dalam menjalankan tugas terganggu. Begitu juga jika diperpanjang untuk tahun kedua, terutama akhir tahun karyawan umumnya sudah terlihat gelisah karena setelah tahun kedua tidak diperpanjang, sehingga efisiensi kerjanya menjadi kurang, karena perhatian untuk mencari kerja di tempat lain menjadi lebih besar. Maka bagi karyawan kontrak kiranya  sulit diukur ada atau tidaknya  komitmen organisasi kerja, apalagi bahwa komitmen tersebut menyangkut aspek loyalitas dan sebagainya. Semoga informasi ini dapat bermanfaat.       

Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012

Facebook dan Gejala Autisme Sosial Remaja

Dimanakah Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh belum saatnya.
 
Kasus yang sama menimpa remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler  untuk FB-an, remaja itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di warnet untuk FB-an.
 
Bahkan, di jam-jam yang mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui  FB.
 
Berdasarkan kasus-kasus itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak manusianya?”,  begitu kira-kira.  
 
Alasan lainnya, FB tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan maslahat, minimalnya  untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.
 
Terlepas pro-kontra itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu), bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler, dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung  di tangan siapa. Man behind the gun.
 
Autisme Sosial Remaja
Sebut saja di sini keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.
 
Tapi apa yang terjadi selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.
 
Ilustrasi di atas rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin, orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya keterbatasan.
 
Pertanyaannya, tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan, pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti ayah-ibu dulu?”
 
Layar kaca dan dunia maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat, misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim, tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme sosial).
 
Padahal itu sangat dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang perlu kita amati itu antara lain:
 
§  Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi.
§  Rendahnya  kemampuan membaca  bahasa batin dalam berkomunikasi
§  Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
§  Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
§  Rendahnya  kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep, misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu yang important (penting) atau priority (sangat penting).
 
Lain soal kalau digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara internet.
 
Pentingnya Interaksi Langsung 
Sejak zaman dulu, peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.
 
Ada fakta menarik yang kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi langsung (interaksi).
 
Malah kalau menurut laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada duanya.
 
Kalau logika ini kita kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:
 
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi  keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
§  Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.
 
Kalau dilihat dari konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?
 
Dunia maya dan layar kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom. Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik, dari gesekan, dan dari pemaknaan.
 
“DATA – INFORMATION – KNOWLEDGE – WISDOM”
 
Manajemen Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape.  Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.
 
Ini karena pada setiap perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap. Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia terkuno di zamannya nanti.
 
Tetapi di sisi lain, konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian hari.
 
Nah, manajemen di sini berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.
 
Agar manajemen ini bekerja, tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan, atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara lain:
 
§  Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
§  Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
§  Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
§  Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).
 
§  Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterusnya.
§  Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.
 
Yang Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita  tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau keseimbangan fisiknya kurang.
 
Selama masih usia remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup, lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.
 
Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012

Mengorek Akar Kecemburuan

Happen-to Dan Happen-in
Cemburu, atau yang sering kita kenal dengan istilah jeles (jealous), adalah sikap emosi kita terhadap orang yang kita anggap sebagai rival atau ancaman. Cemburu juga merupakan keadaan takut atau was-was atas hilangnya seseorang yang kita anggap penting. Reaksinya bisa aversif (tak mau didekati) atau protektif (menjadi seperti polisi).
Cemburu bisa terjadi pada urusan cinta asmara remaja, hubungan suami-istri, atau keinginan yang memiliki nilai tertentu, seperti jabatan atau penghasilan. Ketika kita cemburu, luapan emosi yang muncul antara lain adalah:
 
§  Takut kehilangan
§  Was-was terhadap munculnya penghianatan
§  Merasa kurang berguna atau sedih
§  Hidup terasa seperti tidak jelas dan merasa sendiri
§  Tidak percaya
§  Jengkel, marah atau gregetan
 
Dalam prakteknya, kecemburuan itu sedikitnya bisa memainkan dua fungsi. Fungsi pertama bisa dibaca sebagai tanda adanya rasa cinta. Laki-laki atau perempuan yang malu mengatakan cintanya secara langsung, terkadang menggunakan sikap atau pernyataan cemburu sebagai utusan.
 
Sedangkan fungsi yang kedua, kecemburuan bisa dirasakan sebagai perusak cinta. Kecemburuan seperti inilah yang diebut cemburu buta atau cemburu yang oleh para ahli disebut pathological jealousy (cemburu tidak sehat). Orang  yang menjadi sasaran cemburu seperti ini, biasanya malah ingin mengganggalkan harapan si pencemburu, misalnya malah ingin jauh, risih, atau jengkel.
 
Beberapa tanda yang bisa kita rasakan adanya kecemburuan yang tidak sehat itu antara lain adalah:  ketika sebab-sebabnya tidak faktual atau tidak ada petunjuk untuk cemburu, dirundung ketakutan dan kegelisahan yang lama, intensitas kecermburuannya sudah menganggu aktivitas lain karena pikiran kita terancam oleh “jangan-jangan”, memunculkan perasaan putus asa atau minder.
 
Pada cemburu yang sehat, masalahnya secara umum bersumber dari orang lain yang kita anggap kurang menaati kode etik, kurang membaca rasa, atau kurang mengindahkan hubungan. Tetapi, pada cemburu yang sudah tidak sehat, kemungkinan besar masalahnya ada di dalam diri kita. “It’s not about what happen to you, but about what is happening in you” 
 
Rasa Takut
Apa yang menyebabkan seseorang cemburu secara pathologis? Dilihat dari sumber motifnya, banyak kajian yang berhasil mengungkap bahwa sebab penentunya (determinant) adalah rasa takut dan resah (feeling of fear and feeling of inadequacy). Rasa takut yang sudah menjadi motif hidup berbeda dengan rasa takut yang tidak / belum menjadi motif.
 
Bila kita takut  ke luar rumah karena petir dan angin sedang mengamuk, maka takut seperti ini tidak menjadi motif. Kita takut karena ada sesuatu yang pantas untuk ditakuti. Takut seperti ini sehat dan kita butukan supaya tidak terlalu nekat, konyol atau sembrono. Bayangkan jika kita tak takut bahaya atau kerugian, apa akibatnya?
 
Takut  yang sudah menjadi motif hidup terkait dengan kecemasan, kecurigaan, dan rasa terancam oleh “jangan-jangan” yang tak terkendalikan oleh kita (obsesif-kompulsif) sehingga mengganggu “kenormalan” kita, termasuk yang terkait dengan hubungan kita dengan pasangan atau dengan yang lain.
 
Sumbernya yang paling fundamental adalah kita merasa tidak punya pegangan, baik itu nilai-nilai, pemikiran, keyakinan, penilaian atau skill tertentu yang membuat kita punya alasan kuat bahwa kita “pede” atau mampu menguasai keadaan, terutama keadaan internal di dalam diri kita.
 
Sebagai reaksi atas perasaan itu, kita memunculkan mekanisme untuk menciptakan rasa aman. Salah satu mekanisme yang kita pilih adalah cemburu secara tidak sehat atau menolak mengambil inisiatif yang sehat untuk menyelesaikan problem, misalnya mengajak diskusi atau sharing dengan pasangan atau calon. Kita uring-uringan sendiri, was-was sendiri, beku sendiri.
 
Jika sudah menjadi motif, sumber itu tidak muncul secara tiba-tiba. Secara umum, ada rentetan panjang yang menjadi latar belakangnya. Mungkin dari pola pengasuhan waktu kecil yang terlalu memberi batasan atau kekhawatiran (rigid parenting) sehingga kesempatan kita untuk menjajal berbagai pengalaman dan ketrampilan sangat minim (mental construction).
 
Atau bisa juga muncul dari interpretasi kita atas kejadian masa lalu yang traumatik, baik yang menimpa kita langsung atau tidak langsung, misalnya menimpa sang kakak, adik, orangtua atau keluarga. Trauma yang gagal kita netralisir, dapat membuat kita terkuasai sehingga obsesif-kompulsif, alias tersiksa oleh rasa dan terbelenggu oleh cemburu.
 
Keresahan
Resah pun demikian. Ada keresahan yang memang masih pantas untuk diresahkan atau yang biasa disebut duka, sedih atau kecewa. Misalnya kita kehilangan pekerjaan, kehilangan orang tercinta, kegagalan mengikuti tes PNS padahal sudah membayar sana-sini. Sebagai reaksi sesaat, kesedihan dan kedukaan itu normal, alias manusiawi.
 
Tapi, ada resah yang memang sudah menjadi motif atau sudah menjadi virus yang  menyerang sistem di dalam jiwa kita. Resah seperti ini muncul dari kebingungan yang tak terselesaikan (depresi) sehingga memunculkan keputusasaan dan patah harapan yang merupakan konsekuensi logis dari melemahnya kreativitas dalam menghadapi masalah.
 
Seperti apa yang pernah ditulis Abraham Maslow, jika alat yang engkau miliki hanya palu, maka engkau akan menganggap semua benda bagai paku. Karena kita melihat persoalan hanya satu perspektif, maka cara yang akan kita tempuh untuk menghadapinya juga satu. Biasanya, jika kreativitas kita rendah atau dalam keadaan depresi, kita akan cenderung memilih cara yang tak perlu berpikir panjang, seperti cemburu secara tidak sehat.
 
Laporan hasil studi APA (American Psychological Association: 2010) mengungkap bahwa kerentanan seseorang terhadap kecemburuan itu terkait dengan self-worth (pede, bahagia, optimisme, dst). Artinya, semakin rendah sef-worth seseorang, akan semakin rentan dia untuk cemburu. Kecemburuan itu bisa agresif, seperti marah dengan penyerangan. Atau juga bisa pasif, seperti ngambek dan menarik diri di kamar.
 
Darimana Mulai Bekerja? 
Semua orang berhak untuk cemburu karena memang ada porsi yang dibutuhkan untuk menandai hubungan kita dengan orang tertentu yang menurut kita penting, seperti pasangan atau pacar. Hal lain lagi yang perlu kita sadari juga bahwa semua orang pada dasarnya memiliki kerentanan untuk cemburu secara patologis, seperti juga kita rentan terhadap penyakit.
 
Alasannya adalah, siapa yang tak punya potensi ketakutan dan keresahan? Hanya memang ketika porsinya sudah kebabalsan (akut) dan dampaknya sudah merugikan, maka tindakan kuratifnya (pengobatan) harus segera kita lakukan. Tindakan kuratif ini perlu ada yang didasarkan pada outcome (hasil) yang nyata di depan mata dan ada yang perlu didasarkan pada outcome yang tidak nyata.
 
Bentuk tindakan yang outcome-nya nyata itu antara lain misalnya saja:
 
§  Melakukan aktivitas yang hasilnya dapat membuat kita feeling good, seperti merapikan perabot rumah, persiapan kerja atau sekolah, care terhadap orang lain, dll
§  Menjalankan agenda pengembangan-diri sesuai keadaan dan kebutuhan, misalnya menambah skill, ketrampilan tertentu, atau kebisaan tertentu sampai membuat kita meyakini punya pegangan
§  Menempuh berbagai cara dengan motivasi yang tinggi untuk mewujudkan agenda pengembangan-diri itu.
§  Berdiskusi dengan pasangan mengenai hal-hal yang perlu kita capai agar pikiran tidak beku
§  Bergaul atau berkumpul dengan orang-orang yang membuat pikiran kita terus dinamis
 
Intinya, tindakan yang nyata itu adalah berbagai tindakan yang hasilnya nantii dapat mengurangi ketakutan yang ada di dalam diri kita karena merasa kurang (feeling of lack) atau merasa tidak punya pegangan (feeling of empty). Atau juga tindakan yang melatih pikiran kita untuk kreatif dalam menghadapi masalah supaya tidak gampang resah (feeling of contented).
 
Supaya tindakan itu memiliki pondasi yang kuat, maka perlu ada aksi-aksi batin (spiritualitas) untuk menggali vitalitas hidup. Banyak orang yang sudah tahu dan sangat ingin melakukan tindakan kuratif mengatasi masalahnya. Tetapi prakteknya, keinginan dan pengatahuan itu kurang berguna karena dikalahkan oleh kemalasan dan kesulitan.
 
Ini pun dapat terjadi pada kita jika pondasi spiritualnya (keimanan) tidak ada atau tidak kuat. Untuk membangun pondasi itu, hal-hal yang penting untuk kita lakukan antara lain:
 
§  Temukan pemikiran yang membuat Anda lebih “pede”, lebih kuat atau lebih bahagia dalam menghadapi hidup, dari bacaan, ajaran atau orang lain
§  Temukan keyakinan yang membuat Anda lebih tegar, dari orang lain, bacaan, atau ajaran
§  Hentikan atau alihkan semua pemikiran yang membuat Anda makin merasa tidak pede, merasa ringkih atau hancur
§  Bangun kedekatan dengan Tuhan melalui jalan keimanan
 
Iman adalah sebuah kesimpulan batin yang membimbing kita untuk meyakini (hati, lisan dan tindakan) adanya Tuhan atau kekuatan yang di luar lingkaran kita dan orang-orang yang kita cemburui itu. Kesimpulan itu idealnya dibangun dari pembelajaran, pengetahuan dan pengalaman, supaya dapat mengurangi rasa takut dan rasa gelisah (laa khoufun alaihim walaa hum yahzanuun).
 
Misalnya, kita tersiksa oleh kecemburuan terhadap seseorang yang keberadaannya di luar kontrol kita, katakanlah bekerja di luar negeri atau di luar kota. Apa yang akan kita jadikan pegangan? Akal? Tehnologi? Atau perasaan? Itu semua dibutuhkan, tetapi tak sanggup mengalahkan ketakutan dan kegelisahan sehingga perlu pegangan lain yang sifatnya spiritual.
 
Sama juga misalnya kita dikhianati orang secara nyata. Jika hanya berpedoman pada akal, mungkin kita akan terlibat dalam saling menuntut, saling membalas, saling menghukum. Terkadang ini diperlukan asalkan proporsional. Kalau kebablasan, ini akan merusak kita. Begitu juga dengan perasaan. Jika kita jadikan pedoman tunggal, maka akan melibatkan kita pada merasa hancur atau kecewa.
 
Supaya tidak sampai kebablasan, maka larinya harus ke pegangan hidup yang sifatnya spiritual atau nilai-nilai abstrak yang membuat hidup kita tetap punya ketahanan (keimanan). Oleh Napolen Hill, iman itu disebutnya dengan istilah The Infinitive Intelligence atau kecerdasan yang sanggup membuat kita melihat kenyataan di balik kenyataan.  
 
Intinya, untuk mengatasi kecemburuan yang patologis itu perlu melibatkan empat kapasitas inti dalam diri,  yaitu tindakan nyata (pengembangan-diri), nalar (kalkulasi), perasaan (membedakan sensitivitas), dan keimanan (keyakinan yang membebaskan kita dari rasa takut dan gelisah).
 
Jangan Mau Dilemahkan Dan Dimanfaatkan
Dalam keadaan kreativitas lagi turun atau diliputi ketakutan, mungkin kita butuh orang lain untuk membantu. Mungkin guru, psikolog, ustadz, spiritualis, trainer, atau orang tertentu yang menurut kita berwibawa dan pas untuk dijadikan tempat curhat.
 
Sejauh kita melihat apa yang dilakukannya itu adalah memacu kita menggunakan 4 kapasitas di atas dan relatif bebas saran-sarannya dari self-interest (hawa nafsu), itu semua sangat OK. Kita dibantu menjadi orang yang lebih kuat menghadapi hidup. Berterima kasihlah. Soal itu bayar atau tidak, ini lain urusan.
 
Tapi, jika hanya membuat kita makin lama makin tergantung (lemah), makin takut atau makin jauh dari kenyataan, lebih-lebih cara yang digunakannya aneh-aneh, di sini biasanya rawan pelanggaran atau penyimpangan. Kita telah menyediakan diri untuk dilemahkan atau dimanfaatkan. 
 
Website :  http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012

Mengoptimalkan Masa Keemasan

Bagai Mengukir Di Atas Batu
Kita mungkin sudah akrab dengan istilah Masa Keemasan atau Golden Age itu dalam perkembangan manusia. Sudah sering ada produk makanan atau minuman suplemen yang pakai istilah ini untuk mendukung pemasaran atau iklan di televisi. Di redaksi iklan itu, orangtua sepertinya "diperingatkan" agar berperan seoptimal mungkin di Masa Keemasan yang terjadi hanya sekali seumur hidup si anak.
 
Apa itu Masa Keemasan? Di literatur psikologi sepertinya istilah ini jarang dimunculkan. Meski demikian, tak sedikit penjelasan dari berbagai sumber yang mengungkap adanya bukti-bukti yang bisa ditangkap pengertiannya sebagai Masa Emas itu. Bahkan di zaman orangtua kita dulu sudah ada ungkapan yang juga bisa disebandingkan pengertiannya dengan Masa Keemasan itu.

Para orangtua kita punya pemahaman bahwa belajar di waktu kecil itu diibaratkan seperti orang mengukir di atas batu. Kalau melihat ungkapan itu dari berbagai ide yang berkembang saat ini, akan kita temukan perspektif yang mendasar dalam pengasuhan. Istilah yang dipakai di situ adalah belajar. Yang disebut belajar adalah memunculkan kemauan dan kesiapan untuk mengubah diri (readiness dan willingness to change).

Darimana perubahan diri itu harus diawali? Rumusnya, perubahan itu selalu diawali dari mengubah isi pikiran dengan mengisi pengetahuan, mengubah sikap dan perilaku dengan pengalaman, dan mengubah pencapaian (hasil) dengan keahlian. Jika pengetahuan, pengalaman, dan keahlian ini terus digunakan dan memberikan hasil yang bisa diprediksikan secara relatif konstan, maka disebutnya kompetensi.

Dengan mengacu ke ide yang sekarang berkembang, belajar yang dikatakan bagai mengukir di atas batu itu mengandung sedikitnya dua pengertian:

Pertama, tradisi mengubah diri, dalam pengertian yang luas, yang diajarkan orangtua pada saat anak masih kecil itu akan menjadi tradisi yang sulit ditinggalkan. Sudah tak kurang bukti yang membenarkan penjelasan ini. Anak yang diajari tradisi membaca akan sulit meninggalkan tradisi itu.

Kedua, materi yang kita masukkan ke pikiran si anak pada saat usianya masih kecil itu akan sulit terlupakan. Buktinya pun sudah tak kurang. Anak yang sejak kecil sudah diajari bahasa daerah tertentu akan sulit melupakan kosa katanya.

Jadi, tradisi belajar (kesadaran untuk mengubah diri ke arah yang lebih baik) yang kita tanamkan di waktu kecil atau materi pengetahuan yang kita masukkan ke otak anak kecil bisa digambarkan seperti ukiran di atas batu. Belajar di waktu kecil akan menyatu dengan bawaan, motif, sikap, nilai-nilai, dan konsep-diri. Menurut Spencer (1993), ini semua adalah core personality atau bagian diri kita yang  sulit diubah / sulit dihilangkan.

Bagaiman dengan belajar di waktu besar? Jika belajarnya itu diartikan menerima materi dari luar dengan cara dimasukkan (bukan diserap), maka yang sering terjadi, proses belajar di waktu dewasa sebatas ditangkap sebagai pengetahuan (knowledge). Oleh Spencer disebutnya dengan surface personality (kepribadian yang mudah diubah / mudah hilang).

Rangkuman hasil survey yang diolah Bizmanualz, Inc (2007), memaparkan prosentasi yang diingat dan yang dilupakan orang dewasa setelah diajari pengetahuan, mau itu training atau kuliah. Setelah 1 hari, yang kita ingat sebanyak 54% dan yang terlupakan 46%. Setelah 63 hari, yang kita ingat menjadi 17% sementara yang kita lupakan sudah 83%.  Mengapa demikian ?


Belajar Menghafal vs Belajar Berproses

Jika mengacu pada proses belajar menghafal, maka yang keluar adalah angka-angka di atas; dan sehebat apapun kita menghafal materi kuliah atau training, sejauh yang kita andalkan hanya ingatan otak, mungkin 3 bulan setelah diwisuda atau disertifikasi, sudah banyak materi yang hilang. Lain soal kalau belajar berproses, artinya, materi itu menjadi bagian dari perjuangan hidup, profesi, atau pekerjaan. Mungkin kasusnya akan beda.


Kesuburan & Kehebatan

Kembali ke soal Masa Emas, dari berbagai penjelasan yang muncul saat ini, ada sedikitnya dua pokok pikiran yang bisa kita pakai rujukan. Untuk lebih mudah diingat, saya menggunakan istilah kesuburan dan kehebatan. Istilah kesuburan terkait dengan kondisi otak yang sedang subur-suburnya berkembang, membentuk jalur belajar, atau membentuk koneksi (dendrit).

Temuan para ahli, seperti dirangkum Benjamin S. Bloom (1964), menyimpulkan bahwa 50% kemampuan belajar seseorang dikembangkan pada masa empat tahun pertamanya. 30% lain dikembangkan menjelang ulang tahun kedelapan. Sesudah umur sepuluh tahun, cabang-cabang yang tidak berhubungan akan mati.

Kalau mengacu ke sini berarti anak yang sejak usia 0 sampai 10 tahun-an yang kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan cabang-cabang di dalam otak, maka cabang di dalam otaknya akan sedikit dan di samping itu dia kesulitan menghidupkan cabang-cabang otak yang telah mati setalah usianya menjelang remaja sampai tua nanti.

Ada lagi yang mengatakan, usia 0 sampai 6 tahunan disebutnya sebagai Masa Emas Pertama. Masa Emas Kedua terjadi ketika anak masuk usia 7 tahunan sampai masuk remaja awal, usia belasan. Seorang pakar neorologi, Eric H. Lennenberg, menyimpulkan bahwa sebelum masa pubertas, otak anak lebih lentur. Makanya, ia lebih mudah belajar bahasa.

Sedangkan istilah kehebatan itu terpaut dengan kondisi otak yang sedang hebat-hebatnya menangkap pengajaran dari luar. Ini sudah dibuktikan melalui pengajaran bahasa. Tony Buzan, psikolog dari Inggris (1990) mengatakan, hanya dalam 2 tahun pertama dia hidup, daya serap bahasanya jauh lebih baik dari seorang doktor di bidang apapun di dunia. Ini kemudian sempurna pada usia 3 atau 4 tahun.


Apa Berarti Pintu Sudah Tertutup?

Sering ada pertanyaan begini: apa berarti setalah Masa Emas itu berlalu otak manusia sudah tak lagi memiliki kehebatan dan kesuburan? Dari sisi kondisi otak, secara umum mungkin ya, seperti yang kita rasakan. Tapi tidak berarti kinerjanya anjlok. Soal kinerja otak lebih ditentukan oleh faktor manusianya. Buktinya sudah banyak kita jumpai.

Baik ajaran agama dan temuan pengetahuan sama-sama menjamin bahwa otak manusia tetap bisa ber-kinerja asalkan terus menemukan cara-cara kreatif yang pas dengan dirinya dan memiliki api kemauan yang terus menyala. Makanya, belajar itu dikatakan sebagai perintah yang mutlak, tanpa batas waktu, dari lahir sampai mau mati.

Secara umum, orang dewasa punya keunikan belajar yang berbeda dengan anak. Orang dewasa cara belajarnya harus lebih banyak dari praktek atau untuk dipraktekkan, sesuai keadaan dirinya. Konon, Rumi yang kita kenal hebat di puisi spiritual itu baru mulai belajar serius setelah usianya 40 tahun. Mungkin karena otaknya cerdas, emosinya tinggi, atau perhatiannya tinggi terhadap isu yang diangkat di puisinya itu. Artinya, Rumi memang concern ingin mempraktekkan atau dari praktek hidupnya.

Ada ungkapan yang pas untuk orang dewasa tentang hal ini dari Edward Bolles. Katanya, kita akan punya ingatan bagus terhadap materi yang kita pelajari kalau kita mengerti (understand). Kita akan mengerti kalau kita punya perhatian (concern) terhadap materi itu. Kita akan punya perhatian yang besar kalau kita benar-benar punya keinginan terhadap materi itu. 

Tapi ada bukti lain yang perlu kita lihat juga. Orang dewasa atau remaja akhir yang tetap bisa belajar dengan mudah itu umumnya adalah mereka yang dari sejak kecil terbiasa menggunakan otaknya untuk belajar, entah secara internal atau eksternal. Karena itulah banyak ahli yang mengatakan bahwa Masa Emas itu penting karena kapasitas belajar anak yang terbentuk dalam masa ini akan menjadi landasan bagi semua proses belajar di masa depan.

Dari pengalaman pribadi yang masih relatif sedikit, ada indikasi yang saya peroleh bahwa remaja yang cabang-cabang otaknya lebih banyak karena sering dipakai belajar sewaktu kecil, ternyata punya respon yang lebih bagus, punya inisiatif yang lebih cepat, punya daya tangkap dan ketelitian yang lebih bagus. Selain itu, motivasinya untuk maju juga beda.
 

Stimulasi & Tradisi 

Sikap kita terhadap kenyataan yang menuntut untuk lebih mengoptimalkan pengasuhan terhadap anak,  akan jauh lebih penting ketimbang mempersoalkan perbedaan pendapat apakah Masa Emas itu ada atau sampai tahun berapa. Kecuali jika ini kita angkat sebagai materi untuk skripsi dan kepentingan keilmuan murni.

Pertanyaannya adalah, apanya yang perlu dioptimalkan? Ada trend yang mengemuka seolah-olah yang perlu dioptimalkan itu hanya merek susu atau kenyamanan fisik si anak atau enforcement dari luar atas interest orangtua. Harus diakui ini memang penting, tetapi yang juga penting adalah memperbanyak stimulasi dan tradisi yang berbasikan pengasuhan.

Kenapa stimulasi dan apa saja bentuknya? Stimulasi adalah berbagai rangsangan, entah itu kesempatan bermain, fasilitas belajar, atau materi (misalnya cerita atau bacaan), yang dapat memicu anak untuk belajar atau mengolah pengajaran. Para ahli menyarankan pentingnya aktivitas bermain yang dapat mencerdaskan motorik untuk usia anak-anak, mungkin 0-4 tahun-an.

Rangsangan juga bisa berbentuk sentuhan yang abstrak, misalnya dukungan dan keterlibatan kita dalam proses belajar anak, entah itu belajar di sekolah atau belajar hidup. Riset mengungkap bahwa keterlibatan orangtua dalam belajar anak sangat punya peranan dan kontribusi (Family Involvement in Education, U.S. Department of Education: 2002) atau akan dimaknai sebagai motivasi oleh si anak.

Rangsangan akan membentuk cabang-cabang otak sebanding dengan yang kita berikan. Selain itu, pengetahuan dan pengalaman si anak juga semakin kaya. Selain rangsangan adalah membentuk tradisi belajar atau tradisi berprestasi dalam keluarga. Tradisi di sini adalah berbagai bentuk pembiasaan positif, misalnya membaca, perhatian dan tanggung jawab terhadap tugas, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah, dan berbagai sifat-sifat positif lain.

Untuk membangun tradisi itu mau tidak mau dibutuhkan disiplin. Kata Richard L. Munger dalam booklet-nya Rules For Unruly Children (2007), jangan mengira anak kita lebih bahagia dengan tidak kita berikan disiplin. Anak membutuhkan behavior limits untuk bisa lebih bahagia. Hanya saja, ada beberapa catatan yang perlu kita ingat, antara lain:
  • Tujuan berdisiplin bukan untuk disiplin, melainkan untuk memfasilitasi agar anak bisa belajar mengontrol hidupnya. Semakin bagus kemampuan anak mengontrol, maka disiplin harus segera dilembekkan / dikurangi / difleksibelkan
  • Materi disiplin itu perlu dirancang sejelas mungkin sehingga anak tidak merasa semua serba diatur. Disiplinkan untuk hal-hal yang fundamental saja dan sesuai perkembangannya. Akan lebih bagus jika materinya sudah disepakati.
  • Penegakannya akan lebih bagus dengan pendekatan  friendly, bukan forcefully
  • Disiplin bukan dikeluarkan karena amarah yang sesaat lalu ditegakkan secara tidak konsisten. 
  • Berikan berbagai reward yang unik dan memotivasi. Pilihlah rewards yang cara mendapatkannya bukan dengan menangis atau usaha-usaha rendahan lainnya, melainkan dengan to do their best.

"JANGAN MENGIRA ANAK KITA LEBIH BAHAGIA
DENGAN TIDAK KITA BERIKAN DISIPLIN."

Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012