Pengertian & Alasan
Kalau melihat berbagai literatur Psikologi, Konsep-diri ini merupakan
pembahasan penting. Konsep-diri adalah apa yang kita persepsikan
terhadap diri kita; bagaimana kita mempersepsikan diri sendiri. Semua
orang pada dasarnya punya konsep-diri. Yang berbeda adalah
"bagaimana-nya" persepsi itu kita ciptakan, pikirkan, dan rasakan. Kita
lihat sehari-hari. Ada orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok
yang memiliki kelebihan tertentu. Persepsi ini kemudian mendorongnya
untuk meraih prestasi tertentu. Logikanya, kalau kita sudah punya
dorongan, maka ini memudahkan kita meraih prestasi yang kita inginkan.
Soal kualitasnya bagaimana, ini soal proses.
Ada
juga orang yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang tidak punya
kelebihan apa-apa. Secara by nature, persepsi demikian kurang memberikan
dorongan. Konsekuensinya, kalau dorongan itu lemah, ya kemungkinannya
juga kecil. Seperti kata Kidd (1998), "feeling of success spur action". Intinya,
ada Konsep-diri positif dan ada Konsep-diri negatif. Konsep-diri ini
biasanya amat sangat jarang kita nyatakan melalui ucapan mulut (verbal).
Bahkan banyak yang tidak kita sadari. Umumnya, konsep-diri itu kita
"batin" dan langsung kita praktekkan. Karena itu ada yang mengatakan
nasib orang itu tercetak tanpa pengumuman (diam-diam). Sejauhmanakah konsep-diri ini punya pengaruh bagi kemajuan seseorang? Ada beberapa hal yang bisa kita catat di sini:
Pertama, konsep-diri berhubungan dengan kualitas hubungan intrapersonal (diri sendiri).
Konsep-diri positif akan memproduksi kualitas hubungan yang positif.
Ini misalnya harmonis dengan diri sendiri, mengetahui kelebihan dan
kelemahan secara lebih akurat, atau punya penilaian positif terhadap
diri sendiri. Hubungan yang harmonis akan menciptakan kebahagiaan-diri
(perasaan positif terhadap diri sendiri).
Menurut Michael Angier, perasaan positif mendorong kita untuk melakukan hal-hal
positif. Jim Rohn menyimpulkan bahwa seringkali kita tidak bisa
melakukan sesuatu dengan baik karena kita menyimpan perasaan yang tidak
baik. Kalau kita sedang merasa "nggak karu-karuan", biasanya pekerjaan
kita berantakan juga.Karena itu, Einstein menyimpulkan bahwa karya besar
itu tidak lahir dari seorang yang jiwanya sedang kacau.
Kedua, konsep diri terkait dengan kualitas hubungan dengan orang lain.
Orang yang hubunganya harmonis dengan dirinya akan menghasilkan
hubungan yang harmonis dengan orang lain. Inilah yang menjadi pokok
bahasan Kecerdasan Emosional (EQ). Sebaliknya, orang yang di dalam
dirinya ada perang, akan mudah memproduksi peperangan juga di luar.
Karena
itu, berbagai study di bidang kesehatan mental mengungkap bahwa orang
yang sedang mengalami stres atau depresi kurang bisa menjalin hubungan
yang harmonis dengan orang lain. Biasanya, hubungan mereka diwarnai
dengan semangat permusuhan, perdebatan, konflik atau minimalnya gampang
patah. Selain terkait dengan soal kualitas keharmonisan,
Konsep-diri juga terkait dengan soal setting mental atau isi pikiran
saat berhubungan dengan orang lain. Dale Carnegie menyebutnya dengan
istilah filsafat hidup. Ada orang yang punya filsafat hidup memberi,
ingin berbagi, ingin bekerjasama, ingin meminta (diberi), ingin
mengambil, dan lain-lain.
Konsep diri yang lemah akan mendorong kita untuk meminta (asking or begging).
Ini misalnya saja: apa yang bisa diberikan kepada saya, apa yang bisa
saya "manfaatkan", apa yang bisa saya ambil, dan lain-lain. Sebaliknya,
konsep-diri yang kuat akan mendorong kita untuk berpikir, misalnya saja:
Apa yang bisa saya berikan, apa yang bisa saya kerjasamakan, apa yang
bisa saya sinergikan, apa yang bisa saya serviskan, apa yang bisa saya
bantu, dan lain-lain.
Kalau
bicara keharmonisan hubungan jangka panjang, konsep mental yang paling
menjanjikan adalah konsep mental yang kuat: saling memberi, saling
berbagi, saling bersinergi, dan semisalnya. Intinya ada unsur win-win-nya. Soal bentuknya kayak apa, ini urusan lain.
Ketiga, konsep diri terkait dengan kualitas seseorang dalam menghadapi perubahan keadaan. Perubahan itu bisa dipahami sebagai tekanan (pressure) atau tantangan (challenge).
Ini tergantung pada bagaimana kita punya persepsi diri. Tantangan
adalah "panggilan" atau kesempatan untuk membuktikan kemampuan,
kebolehan, atau kehebatan kita.
Konsep-diri
yang bagus akan memproduksi kepercayaan yang bagus (pede). Orang yang
pede akan cenderung melihat perubahan sebagai tantangan untuk dihadapi,
tantangan untuk diselesaikan, tantangan untuk dilompati. Karena itu,
seperti kata Mohammad Ali, petinju legendaris itu, yang membuat orang
lari dari masalah itu adalah kepercayaan-diri yang rendah.
Sumber Konsep-diri
Karena kita ini punya sebutan ganda (makhluk individual dan sosial), maka konsep diri yang kita miliki pun bersumber dari dua arah, yaitu:
- Sumber eksternal
- Sumber internal.
Sumber
eksternal itu misalnya adalah keluarga, lingkungan, komunitas, atau
sumber-sumber lainnya. Tak jarang kita temui ada satu keluarga yang
seluruh SDM-nya bagus. Tapi tak jarang juga kita jumpai ada satu
keluarga yang SDM-nya tidak / belum bagus. Ini terkait dengan pemahaman,
nilai-nilai, budaya, dan berbagai "intangible element" yang melandasi terbentuknya konsep-diri tertentu di dalam keluarga.
Begitu
juga dengan lembaga sekolah. Ada sekolah-sekolah tertentu yang
sepertinya sudah "berpengalaman" mencetak alumni yang sebagian besarnya
bagus. Tapi ada yang sama sekali tidak / belum jelas alumninya. Apa yang
membedakan? Salah satu yang membedakan adalah konsep-diri kolektif yang
berkembang di sekolah itu. Tentu juga terkait dengan faktor-faktor
"eks" lainnya.
Sumber
internal maksudnya adalah kita sendiri yang menciptakan. Terlepas
apakah itu kita ciptakan secara sadar atau tidak. Ketika kita
berkesimpulan tidak punya kelebihan apa-apa, tidak punya resource
apa-apa, tidak punya bakat apa-apa, tidak punya arti apa-apa,
sebetulnya itu bukan berarti kita tidak punya. Itu semua adalah
penilaian kita, persepsi kita, atau opini kita tentang diri kita.
Pendeknya, itulah konsep-diri yang kita pilih.
Perlu
secara fair kita akui juga, ketika kita punya konsep-diri seperti di
atas, ini memang tidak membuat kita mati. Tapi untuk kepentingan
kemajuan, perkembangan, aktualisasi-diri, dan lain-lain, konsep-diri itu
punya peranan yang signifikan. Dr. Maxwell Maltz menyimpulkan tindakan
manusia itu erat kaitannya dengan bagaimana manusia itu mendefinisikan
dirinya. Senada dengan itu, Gordan Dryden dan Dr. Jeannette Vos
menulis, "Dari sistem pendidikan yang terbukti berhasil di seluruh
dunia, citra diri ternyata lebih penting dari materi pelajaran."
Ada
satu hal lagi yang mungkin perlu kita ingat di sini. Dari praktek hidup
bisa kita ketahui bahwa konsep-diri itu ada yang sifatnya permanen
(substansial). Artinya sudah masuk dalam file Alam Bawah Sadar, sudah
menjadi gaya hidup, sudah benar-benar melekat dengan diri kita. Ini
misalnya: kita secara otomatik punya konsep-diri yang lemah atau negatif
dan itu berlangsung dalam periode yang cukup lama.
Tetapi
ada juga yang sifatnya kondisional atau superfisial berdasarkan keadaan
spesifik atau kepentingan spesifik. Ini misalnya kita mendesain format
mental semenarik mungkin saat mau bertemu calon mertua, saat
diwawancarai kerja, dan lain-lain. Seorang pejabat publik bisa saja
mendesain format mental dan penampilan se-menarik mungkin, se-positif
mungkin atau se-elegan mungkin saat berbicara di depan publik atau saat
kampanye. Untuk kepentingan perkembangan jangka panjang, yang
benar-benar perlu kita audit adalah konsep-diri permanent yang sudah
masuk ke file Alam Bawah Sadar. Ini perlu "kerja keras" untuk
memperbaikinya. Kenapa dan bagaimana?
Membangun Konsep Diri
Sebelum
menjawab "bagaimananya", saya ingin lebih dulu menandaskan "kenapanya"
dulu. Ini terkait dengan sumber eksternal dan internal di atas.
Maksudnya saya, meski sumber konsep-diri itu bisa berasal dari luar dan
dari dalam, tapi untuk memperbaikinya, ini harus berawal dari kita atau
dari dalam. Seluruh perbaikan diri itu berawal dari dalam. Kaidah ini
berlaku untuk semua orang dewasa (baca: bukan anak-anak).
Anak-anak yang punya konsep-diri negatif masih bisa dibenarkan jika orangtua atau lingkungan yang "pantas" disalahkan. Tapi
untuk orang dewasa, ini tidak berlaku. Meski kita bisa menyalahkan
lingkungan, keluarga, sekolah, dan lain-lain, tetapi ujung-ujungnya yang
menerima akibat adalah tetap diri kita. Ini bukti bahwa tanggung jawab
untuk memperbaiki diri itu tidak bisa didelegasikan, dipasrahkan atau
dilemparkan kepada pihak manapun.
Karena
itu, tradisi kita memperkenalkan konsep kehidupan yang kita sebut aqil
baligh. Aqil artinya akal kita sehat, tidak rusak karena usia atau
kecelakaan. Baligh artinya usia kita bukan lagi anak-anak. Konsep ini
digunakan untuk menandai perpindahan tanggung jawab. Seluruh aspek
positif atau negatif yang dimiliki anak-anak, itu sebagian besarnya
menjadi tanggung jawab orangtua, keluarga atau lingkungan. Begitu sudah
menginjak aqil baligh ini, tanggung jawab itu secara otomatik pindah dari luar ke dalam.
Dengan
kata lain, terlepas kita lahir dari keluarga, lingkungan atau sekolah
yang bagus atau tidak, tetapi jika menolak memperbaiki konsep-diri
negatif yang kita miliki, maka yang salah bukan keluarga, lingkungan
atau sekolah. Yang salah adalah kita. Maksudnya, akibat atau
konsekuensinya tetap kembali ke kita, bukan kembali ke keluarga,
lingkungan atau sekolah. Inilah yang saya maksudkan kerja keras itu.
Lalu,
apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki konsep-diri yang sudah
terlanjur negatif atau kurang mendukung kemajuan? Salah satu pilihan
yang bisa kita jalankan adalah:
Pertama, menambah Pengetahuan (P1).
Bertambahnya jenis dan bobot ilmu pengetahuan, bukan saja akan membuat
kita memiliki pengetahuan itu, tetapi juga akan membuat kita memiliki
opini-diri yang lebih baru dan lebih bagus. Soal caranya dan tehniknya
bagaimana, itu urusan kita masing-masing. Kita
bisa menambah pengetahuan dengan berbagai cara: melanjutkan sekolah,
melakukan self-learning, self-education, dan lain-lain.
Satu
cara yang pasti dapat dilakukan oleh semua orang, terlepas apapun
status ekonomi dan sosialnya, adalah membaca. Entah itu membaca buku
baru atau buku bekas, entah itu membaca majalah baru atau majalah bekas,
entah itu dalam bentuk artikel pendek atau hasil kajian yang panjang.
Tapi membaca di sini bukan sekedar membaca. Semua kegiatan membaca itu
bagus, namun yang paling bagus adalah memilih materi yang tepat untuk
dibaca. Membaca riwayat hidup atau pemikiran tokoh bisa memperbaiki
konsep-diri.
Kedua, menambah Pengalaman (P2).
Pengalaman bukanlah serangkaian peristiwa yang menimpa kita, melainkan
apa yang kita lakukan atas peristiwa itu. Menambah pengalaman akan
membuat kita tahu apa yang bisa kita lakukan sekarang dan apa yang belum
bisa kita lakukan. Cara yang bisa kita tempuh antara lain:
- Mempraktekkan ide-ide perbaikan sampai berhasil
- Mengatasi masalah dengan cara yang positif
- Meraih target positif,
- Mewujudkan standar prestasi yang kita buat,
- Berkreasi
- Dan lain-lain.
Pengalaman
akan memperbaiki konsep-diri. Semakin banyak kemampuan yang kita
ketahui, semakin bagus kita punya penilaian terhadap diri sendiri. Nah,
untuk mengungkap berbagai kemampuan / kapasitas itu, tentu tidak bisa
dilakukan dengan duduk. Terkadang kita baru
mengetahui kemampuan kita setelah mempraktekkan banyak hal. Praktek akan
menunjukkan dua hal: a) ternyata saya mampu melakukan hal-hal yang
dulunya saya anggap tidak mungkin, dan b) ternyata saya belum mampu
melakukan hal-hal yang sebelumnya saya anggap mudah. Jadi lebih akurat.
Ketiga, menambah Pergaulan (P3).
Pergaulan, dalam arti yang luas, akan memperbaiki konsep-diri. Tapi ini
dengan syarat: asalkan kita membuka diri untuk mengambil pelajaran dari
orang yang kita kenal. Orang lain memang tidak bisa menyulap kita
menjadi siapapun dan apapun. Namun jangan lupa, orang lain mengilhami
kita, orang lain meng-inspirasi kita, orang lain adalah contoh bagi
kita, orang lain adalah pembimbing kita, orang lain adalah pelajaran
buat kita.
Intinya,
perbanyaklah mengenal orang (langsung atau tidak langsung) dan
perbanyaklah mengambil pelajaran. Biasanya, kita akan tahu kejelekan /
kebaikan diri sendiri setelah melihat jeleknya
orang lain atau kebaikannya. Biasanya, kita akan segera sadar
konsep-diri yang kita pilih setelah berinteraksi dengan orang lain.
Karena itu, ada ungkapan pendek yang mungkin pas untuk diingat. "Cara
yang paling bagus untuk menjadi bintang olahraga adalah belajar dari
bintang olahraga."
Konsep-diri,
entah itu positif atau negatif, memang tidak bisa menyulap prestasi
kita menjadi bagus. Tetapi, untuk meraih prestasi yang lebih bagus,
dibutuhkan konsep-diri yang semakin bagus. Semoga bermanfaat !!
Website : http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp
Tanggal : 30-06-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar